Investasi Asing Tumbuh 5%, Pemodal China Paling Agresif

Penanaman modal asing (PMA) di Indonesia pada kuartal I 2016 mencapai US$6,91 miliar, tumbuh 5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$6,57 miliar.

Namun, nilainya turun 13 persen jika dibandingkan dengan realisasi PMA triwulan sebelumnya (kuartal IV 2015) yang mencapai US$7,94 miliar.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi langsung sebesar Rp146,5 triliun sepanjang kuartal I tahun ini, meningkat 17,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp124,6 triliun. Dari angka tersebut, PMA mendominasi dengan kontribusi sebesar US$ 6,91 miliar (setara Rp 96,1 triliun) atau 65,59 persen dari total realisasi investasi. Sedangkan sisanya Rp 50,4 triliun sisanya berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Dari seluruh negara, Singapura tercatat sebagai kontributor PMA terbesar dengan nilai modal tertanam sebesar US$ 2,86 miliar atau 41,38 persen dari total PMA yang masuk. Kemudian disusul oleh Jepang dengan nilai US$ 1,59 miliar.

Namun, Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan realisasi investasi asing yang menarik muncul dari China dan Hongkong, yang angkanya meningkat empat kali lipat dari US$ 221,6 juta di kuartal I tahun lalu ke angka US$ 971,41 juta di periode yang sama tahun ini.

Hal ini dinilai Franky berbanding terbalik dengan kondisi investasi di China yang yang sedang kurang cemerlang. Sebagai informasi, investasi asal China yang berhasil terealisasi sepanjang 2005 hingga 2014 tercatat US$ 1,8 miliar dari minat investasi US$ 24,27 miliar, atau dengan kata lain, rasio realisasi investasi hanya sebesar tujuh persen.

"Hal itu membuat China dan Hongkong masuk ke lima besar negara dengan PMA terbesar sepanjang kuartal I tahun ini. Di sini terlihat adanya niat bahwa China ingin semakin berkomitmen investasi di Indonesia," ujar Franky di Jakarta, Senin (25/4).

Ia melanjutkan, proyek-proyek asal China yang terlihat realisasinya sebagian besar bergerak di bidang pemurnian (smelter) barang-barang hasil pertambangan. Ia mencontohkan proyek Smelter Grade Alumina senilai US$ 1,2 miliar milik PT Well Harvest Winning Refinery (WHW), yang merupakan perusahaan patungan Harita Group, PT Danpac Resources Danpac, dan perusahaan asal China, China Hongqiao Group Ltd, yang sampai saat ini realisasinya masih berlangsung.

"Untuk Well Harvest, Mei atau Juni mendatang katanya sudah mulai commissioning. Sedangkan proyek smelter PMA China lainnya ada di Bantaeng, Sulawesi Selatan dan Morowali, Sulawesi Tengah," jelasnya.

Melengkapi ucapan Franky, Deputi bidang Pengawasan dan Pengendalian Penanaman Modal BKPM, Azhar Lubis mengatakan rasio realisasi China sudah pasti bisa membaik akibat adanya realisasi tersebut. Namun, sampai saat ini BKPM mengaku belum menghitung secara lebih rinci mengingat pertumbuhan minat investasi lebih besar dibanding realisasinya.

Ia melihat pada data BKPM tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan realisasi investasi China, termasuk Hongkong, di tahun 2015 meningkat 7,58 persen menjadi US$ 1,56 miliar atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar US$ 1,45 miliar. Padahal, minat investasi asal China tahun lalu terlihat meningkat 44,2 persen menjadi US$ 22,6 miliar dari US$ 15,6 miliar di tahun sebelumnya.

"Sampai saat ini kami belum menghitung secara lebih lanjut, tapi yang jelas meningkat rasionya. Kami harap ini komitmen ini bisa diteruskan," ujarnya.

Sebagai informasi, total PMA tahun ini terbilang meningkat 4,54 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar US$ 6,6 miliar. Namun apabila dinilai dari denominasi Rupiah, angka ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp 99,2 triliun.

sumber: cnnindonesia.com. 

Tweet